Senin, 27 Januari 2020

https://drive.google.com/file/d/1wrn9ObWzhyfRbePBwRiuk0mCVX2ODg2m/view?usp=sharing

Minggu, 24 Desember 2017

Hamdan - Buku Suara 04 - Kisah Sahabat Nabi - Kisah Bilal bin Rabah

Buku Suara 04 - Kisah Bilal bin Rabah



Alhamdulillah.. dalam rangka melanjutkan aktivitas ngeblog yang sempat vakum untuk waktu yang lama, kali ini saya mau melanjutkan bagi-bagi buku suara yang diambil dari kisah-kisah dalam sejarah islam. Cerita suara keempat yang sudah dibuat ini adalah cerita yang berjudul Kisah Bilal bin Rabah. Cerita ini dirangkum dari berbagai sumber dan disulih kedalam suara. Cerita kali ini telah mengalami perubahan dibanding cerita suara yang ketiga, yang kali ini lebih menonjolkan nuansa islam yang teduh.

Senjata utama recordernya tetap menggunakan handphone. Hal itu menjadi ciri khas buku suara buatan saya ini. Maafkan atas kekurangan disana-sini. semoga saya bisa terus memperbaiki karya yang dihasilkan.

Silahkan disebar dan dibagikan kepada yang lain, saya tidak keberatan. Semoga bermanfaat dan dapat memberi kebaikan, amin.


silahkan klik tautan dibawah ini..

Mohon doakan saya.. Agar saya bisa terus berkarya dan berbagi.. 
Semoga Allah Azza wa Jalla memudahkan langkah saya untuk memenuhi panggilanNYA melaksanakan rukun islam kelima, yakni berhaji.. Amin...




Sabtu, 09 Desember 2017

Hamdan - Buku Suara 03 - Enid Blyton - seri Monyet Mike - Tuan Budiman

Buku Suara 03 - Tuan Budiman



Alhamdulillah.. stelah sekian lama vakum dari ngeblog, kali ini saya mau bagi-bagi buku suara yang dibuat berdasarkan buku cerita karya Enid Blyton. Cerita suara ketiga yang sudah dibuat ini adalah cerita yang berjudul Tuan Budiman. Cerita ini diambil dari buku kumpulan cerita Enid Blyton dalam seri Monyet Mike, yang berjudul Tuan Budiman. Cerita suara kali ini sudah mengalami perbaikan dibanding cerita suara yang kedua, yang alhamdulillah mendapat masukan yang sangat berharga dari saudara Athur Hermawan, dimana effect sudah mulai coba dibuat mendampingi narasi.


Senjata utama recordernya masih tetap menggunakan handphone. Biarlah hal itu menjadi ciri khas dari buku suara buatan saya ini. Mohon maaf kalau masih banyak kekurangan disana-sini. semoga saya bisa terus melakukan perbaikan dari kemampuannya masih pas-pasan ini sambil terus belajar untuk berkarya.


Monggo kalo mau dibagikan pada yang lain, silahkan saja, saya tidak keberatan. Asal jangan dijual. semoga bermanfaat, amin.




 silahkan klik tautan dibawah ini..


Minta doanya juga, ya.. Agar saya bisa terus berkarya dan berbagi..


Hamdan, Aisyah, Fatih dan Hafshoh




Sabtu, 02 Desember 2017

Hamdan - Buku Suara 02 - Enid Blyton - seri Si Babi Ungu - Gary si Cepat Berputus Asa dan Fany si Pantang Menyerah



Buku Suara 02 - Gary si Cepat Berputus Asa dan Fany si Pantang Menyerah

 Alhamdulillah.. stelah sekian lama vakum dari ngeblog, kali ini saya mau bagi-bagi buku suara yang dibuat berdasarkan buku cerita karya Enid Blyton. Cerita suara kedua yang sudah dibuat adalah cerita yang berjudul Gary si Cepat Berputus Asa dan Fany si Pantang Menyerah. Cerita ini diambil dari buku kumpulan cerita Enid Blyton dalam seri Si Babi Ungu, yang berjudul Gary si Cepat Berputus Asa dan Fany si Pantang Menyerah. Cerita suara kali ini sudah mengalami perbaikan dibanding cerita suara yang pertama. sudah menggunakan timeline dan juga lebih mudah proses editingnya. kualitas suara dan effect perlahan mulai diperbaiki. Tapi senjata utama recordernya masih tetap menggunakan handphone. biarlah hal itu menjadi ciri khas dari buku suara buatanku.mohon maaf kalo hasilnya belum maksimal, karena saya sambil membuat sambil belajar, apalagi kemampuannya masih pas-pasan sehingga harap dimaklum. Monggo kalo mau dibagikan pada yang lain, silahkan saja. saya tidak keberatan, asal jangan dijual. semoga bermanfaat, amin.


silahkan klik tautan dibawah ini..
Minta doanya juga, ya.. Agar saya bisa terus berkarya dan berbagi.. 

 



Hamdan - Buku Suara 01 - Enid Blyton - seri Monyet Mike - Monyet Mike

Buku Suara 01 - Monyet Mike

Alhamdulillah.. stelah sekian lama vakum dari ngeblog, kali ini saya mau bagi-bagi buku suara yang dibuat berdasarkan buku cerita karya Enid Blyton. Cerita suara pertama yang sudah dibuat adalah cerita yang berjudul Monyet Mike. Cerita ini diambil dari buku kumpulan cerita Enid Blyton dalam seri Monyet Mike, yang berjudul Monyet Mike. Cerita suara ini dibuat menggunakan handphone dan diedit serta dimixing menggunakan software wave editor. Berhubung software yang saya miliki adalah versi free trial, jadi kemampuannya masih pas-pasan. sehingga harap dimaklum kalo masih banyak kekurangan disana-sini. Monggo kalo mau dibagikan pada yang lain, silahkan saja. saya tidak keberatan, asal jangan dijual.. semoga bermanfaat, amin.


silahkan klik tautan dibawah ini..



Minta doanya juga, ya.. Agar saya bisa terus berkarya dan berbagi..

















Senin, 31 Oktober 2011

Dan Jundi pun Tersapu Badai


Sip! Sedikit lagi selesai.
Hendra menatap empat buah laporan untuk rapat pengurus mushola siang nanti yang hampir ia selesaikan. Subhanallah, akhirnya selesai juga dalam waktu semalam. Pikirnya sambil merapikan sisa lembaran yang belum ia cek.
Ini kedua kalinya ia menjabat sebagai ketua acara untuk kegiatan rohis di kampusnya, MIPA UI. Sebagai aktivis dakwah kampus, kegiatan ini sudah ia geluti semenjak tercatat sebagai mahasiswa fisika program S1.

Menurutnya, sayang sekali memiliki potensi diri yang besar jika tidak dimanfaatkan di jalan Allah. Motto ‘hidup mulia atau mati syahid’ tak pernah lepas dari prinsipnya yang seteguh Grand Canyon di Amerika sana. Imam Hasan Al Bana adalah figur yang dikaguminya setelah Rasulullah SAW. Pantas jika ia dijuluki ‘ikhwan’ oleh teman-temannya. Ditambah jenggot yang melambai di bawah dagu, lengkaplah sudah.

Apa lagi ya yang kurang?! Oh, lupa! Catatan rancangan anggaran pengeluaran untuk kajian di Puncak belum aku cantumkan. ya…ya, sekalian nama-nama pembicaranya yang akan mengisi besok. Gumam Hendra. Eh, kenapa tidak Devi saja yang membuatkannya? Biar ada kerjaan sedikit. Cengir Hendra nakal.
Tiba-tiba sebuah panggilan mengusik kesibukannya. “Hendra…! Teman kamu telpon nih…!” Ibunya memanggil.


Ah, Itu pasti Temy! Jadi juga dia menghubungi aku pagi ini. Tebaknya gembira. Buru-buru Hendra menghampiri pesawat telpon di ruang tengah. “Assalamu’alaikum, Temy!”
“Bukan, ini Yanti!” jawab orang di ujung sana.
“Eh…Yanti, maaf. Aku pikir Temy. Ada apa Yanti?”
“Ah, nggak. Kamu hari ini ke kampus? Kalau berangkat, bareng aku dong. Sekalian cariin bengkel yang bagus. Hari ini Mama suruh aku tune up mobil Papa. Tolongin aku, ya!” rayu Yanti.
“Ng…maaf ya. Aku nggak bisa temani kamu, kamu tahu kaaan! Lagi pula, dekat kampus, jalan arah ke Depok kan banyak bengkel bagus, kamu bisa coba salah satunya. Kalau Mira, gimana? Mungkin dia bisa,” Jawab Hendra menghindar.
“Uh,…pasti deh kamu nggak mau nolongin aku. Iya, deh! Karena aku bukan akhwat, kan! Sombong!” gerutu Yanti. Klik! Tiba-tiba ia menutup telpon.

Hendra hanya tersenyum kecil.
Yanti adalah tetangganya dan juga teman satu SMU di 47 dulu. Sekarang, ia satu fakultas dengannya, hanya saja Yanti mengambil jurusan Kimia. Jarak antar rumah mereka terpisah satu Rt. keluarga Yanti termasuk terkaya di daerah itu. Ayahnya seorang pejabat tinggi di salah satu instansi pemerintah yang ‘basah’. Dua sedan dan satu Land Cruiser Turbo terpajang di garasi depan rumahnya.


Berbeda dengan Hendra, yang hanya memiliki sebuah Vespa, itu pun hasil jerih payahnya mengajar privat di sana-sini. Dia pula yang mengajarkan Yanti mengendarai mobil karena ibunya yang meminta. Alasannya, dengan Hendra lebih ‘aman’ ketimbang dengan orang lain yang belum dikenal. Hendra sendiri bisa mengendarai mobil karena belajar dari Ayahnya yang sopir angkot.
Hari ini ia harus berangkat lebih pagi karena hari pertama anak-anak sekolah masuk setelah libur cawu berakhir. Buru-buru ia merapikan berkas-berkas laporan serta buku-buku untuk kuliah. Dan… mandi.

Setelah semuanya beres, Hendra segera berangkat. “Bu…! Hendra berangkat ya…!”
“Hendra…! Kamu nggak makan dulu?!” Ibunya memanggil dari dapur.
“Nggak ah, Bu! Hendra makan di kampus saja. Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikumussalam! ”


***

Jam dua siang suasana musholla Izzatul sudah mulai lengang. Hanya ada beberapa ikhwan yang sedang sibuk dengan tugas kuliahnya duduk di pelataran depan mushola. Di depan pintu sekretariat mushola, Sabar tergeletak pulas bersama mimpinya.
Ruang sekretariat tidak luas, kira-kira dua kali tiga meter. Di lantai terhampar karpet merah agak kehitam-hitaman yang entah kapan terakhir kalinya dicuci. Perabotan milik mushola tergeletak berantakan di lantai dengan posisi menepi ke dinding. Beberapa rak menempel di dinding sebelah kanan dekat pintu berisi berkas-berkas dan buku-buku yang diletakkan sekenanya saja.


Di pojok ujung sebelah kiri tampak sebuah lemari gantung yang hampir copot pintunya terbiarkan menganga. Di dalamnya terdapat pengeras suara yang sudah tak berbentuk dengan kabel menjuntai kemana-mana. Ventilasi-ventilasi di dinding sudah tak berfungsi lagi sebagaimana mestinya karena tertutup oleh sawang yang sudah sangat tebal membuat suasana sekretariat tampak sumpek, pengap, dan JOROK.
Saat itu, di tengah-tengah ruang sekretariat, Hendra dan Temy, ikhwan Farmasi, sedang duduk santai membicarakan sesuatu. “antum serius sudah siap?! Ane tanya beneran nih! Soalnya, sudah ada akhwat yang siap! Kalau antum serius nanti ane kasih biodatanya, gimana?! ” ujar Temy menyelidik. “Eh…, jawab dong! Jangan cuma senyum saja!”


“Aduh… antum ini! Masa nggak percaya sama ane punya azzam?! Insya Allah akh…! Ane sudah siap lahir batin,” jawab Hendra tersenyum nakal.
“He…he…he…sorry. Habis antumnya tenang-tenang saja, sih! Padahal, ane sendiri sudah gugup kayak begini, he…he…he. Alhamdulillah, akhirnya ada juga yang menjadi pendahulu kita-kita,” ujar Temy kagum.
“Eh, Tem! Ng…, ngomong-ngomong… akhwatnya angkatan berapa?” tanya Hendra malu-malu sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Hi…hi…hi, sembilan-sembilan, Hen!” jawab Temy centil.
“Wah! Cocok dong, kalau begitu!”
“Ehem, hayo…! lagi ngomongin apa yah!” tiba-tiba Dodi muncul di pintu sekretariat. “Sen, kamu di cariin Bu Jarwani tuh! Katanya laporan TA kamu sudah di-ACC,”
“Oh, ya! Thank’s, Dod! Eh, Tem. Ane cabut dulu. Pembicaraannya kita lanjutin besok saja. Tapi…, untuk yang tadi, antum atur saja gimana baiknya. Insya Allah malam ini juga ane akan istikhoroh, OK! Assalamu’alaikum!” ujar Hendra bergegas.


Tiba-tiba…


“WADOUW…!” Eko yang sendari tadi asyik berbaring di depan pintu sekret menjerit kesakitan. Tanpa sengaja jempol tangannya terinjak oleh Hendra di pintu sekretariat. “Afwan…, afwan. Ane nggak sengaja…! Sabar ya, Ko…!”
Hendra meninggalkan mushola dengan wajah berseri dan hati berbunga. Laporan TA-nya sudah disetujui. Artinya, ia dapat maju sidang sarjana semester ini dan dan insya Allah sebentar lagi….



***

Siang tadi, sehabis sholat duhur, Yanti minta ketemu di ruang baca perpustakaan lantai atas, di meja dekat rak-rak skripsi, yang jam-jam itu sepi pengunjung. Semula Hendra menolak dengan alasan ikhtilat, tetapi Yanti memaksa. Katanya ada hal yang sangat penting yang harus dibicarakan.
Di tempat itu, sambil terisak, Yanti mencurahkan isi hatinya pada Hendra. “Hen…, kamu tega sama aku, nggak pernah perhatian. Padahal… aku ingin sekali seperti akhwat. Yang ngerti agama, yang bisa mengaji, dan memakai jilbab. Kamu tidak adil, tidak pernah memberi kesempatan padaku untuk melakukan itu.


Kamu selalu saja menghindar. Seakan-akan aku ini…, aku ini menjijikkan di matamu. Apa…?! Apa artinya dakwah…, kalau kamu sendiri nggak pernah peduli padaku?! Aku ini kan teman kamu sejak SMU. Aku lebih dulu kenal kamu ketimbang mereka. Kasih aku kesempatan dong…! Ajari aku,” ucap Yanti parau menahan tangis. Linangan air mata tumpah membasahi wajah Yanti yang cantik. Hendra hanya dapat diam membisu. Rasa iba telah meluluhkan sisi hatinya yang selama ini tegar berdiri. Ia terpaku hingga Yanti selesai menumpahkan isi hatinya yang selama ini selalu dipendamnya. Setelah dilihatnya Yanti sudah lebih tenang ia lalu berdiri dan beranjak meningggalkannya sendiri di tempat itu.


Malam itu Hendra duduk di depan meja belajarnya menatap kosong kertas-kertas yang menancap di dinding kamarnya. Pikirannya terus menerawang kejadian tadi siang. Hatinya gelisah tidak menentu memikirkan masalah yang kini ia hadapi. Kenapa begini? Kenapa harus dia? Bukankah hal itu hanya masa lalu. Masa ketika aku hanyalah seorang anak SMU yang penuh gejolak dan dinamika. Saat hatiku penuh dengan wajahmu. Tapi kini cintaku sudah milikNya. Yang selalu mengawasi dan menemaniku pagi dan petang. Menjadi petunjuk dan inspirasi bagi cinta yang lebih besar dan bermakna.
Yanti, maafkan aku. aku kan meminta tolong Nila untuk mendekati dan membimbing dia. Semoga Allah membukakan hidayah untuknya dalam mencari cinta yang lebih tinggi. Lirihnya. Tak lama kemudian, Hendra mulai sibuk berkutat dengan berkas-berkas kegiatan ROHIS.




***

“Wah…! kenapa bisa begitu…?!” ujar Hendra tersentak.
“Iya, Hen! Si Lutfie mobilnya masuk bengkel gara-gara mogok waktu dipakai survey tempat. Si Moer, kijangnya sedang di pinjam Om-nya buat piknik ke Anyer. Si Rudi…, Ah! Dia tuh alergi sama acara-acara ROHIS. Kemarin dia mencak-mencak tahu mobilnya mau ane pinjam untuk acara kita,” ujar Irfan bingung.
“kalau akhwatnya, gimana? Kan acara kemarin kita pakai mobilnya Devina. Coba, deh...!”
“Udah, Hen…! Ane tadi udah tanya Devina. Katanya, mobilnya mau dipakai orangtuanya untuk acara keluarga. Makanya Devina nggak bisa ikut kita ke Puncak, besok,”
“Gimana ya?” ujar Hendra sambil memutar otak. Acara tinggal sehari lagi tapi transportasi untuk menjemput pembicara belum juga ada. Nggak mungkin bawa pembicara pakai Vespa jarak Depok-puncak. Wah…bisa-bisa masuk angin semua sesampainya di tempat.

Lirihnya dalam hati. Ah…iya! Tapi…? Kenapa nggak dicoba dulu sekalian mengajak dia ikutan pesantren kilat! Tiba-tiba Hendra menemukan jalan keluarnya. “Fan! kayaknya ane bisa bantu. Tapi ane mesti menghubungi orangnya dulu. Nanti sore kita ketemu lagi di mushola, ya!”
“Alhamdulillah. Oke, deh! Kalau begitu Ane mau kasih tahu yang lainnya. Assalamu’alaikum!”.
“Wa’alaikumussalam,” sambut Hendra.



***


Sore menjelang magrib, pesantren kilat baru saja selesai. Pak Erman, PUDEK III, yang menutupnya. Hendra bersyukur, acara berlangsung sukses. Angket yang disebar kepada para peserta diisi dengan tanggapan dan penilaian yang bagus. Acara ‘angkut-mengangkut’ pembicara berjalan lancar. Ini berkat mobil Yanti yang standby di tempat. Tinggallah kini panitia dan para peserta berbenah untuk kembali. Mereka bergotong-royong menaikkan barang-barang ke Tronton milik AD yang sudah tiba di tempat.
Agak tergesa, Yanti menghampiri Hendra yang sibuk merapihkan barang. “Hen, tadi mamaku telpon. Mama bilang, aku harus jemput mama di Ciawi sekarang juga. Temani aku dong! Kamu kan sudah janji. Ayo, cepetan! Nanti aku diomeli mama,” desak Yanti.
“Ngh…, sebentar. Hasan, antum ganti’in ane ya. Eh, nanti kalau Yoga datang, bilang ane cabut duluan. Mau ngembali’in mobil!”
“Oke! nanti ane sampe’in,” jawab Hasan.

Sambil menenteng ransel Hendra mengejar Yanti yang sudah lebih dulu ke mobil.
Starlet biru metalik keluaran tahun 95 akhir melaju kencang meninggalkan Mega Mendung menuju Ciawi. Di dalamnya Yanti dengan tenang mengemudikan mobil itu mengikuti jalan yang berkelok. Hendra yang duduk di bangku penumpang sebelah kiri sopir, semenjak berangkat selalu menatap pemandangan yang berkejaran dari jendela di sampingnya. Sejuknya udara dataran tinggi menerpa wajah mereka melalui jendela yang di biarkan terbuka sebagian. Namun sesekali Yanti meliriknya dengan tatapan ‘lain’.


“Hen, mampir sebentar ya. Aku mau beli minum.” kata Yanti sambil menepikan mobilnya di sebuah minimarket. “Kamu mau pesan apa? Aku traktir,”
“Ng…, ah nggak usah,”
“Gimana kalau minum aja. Mau, kan?”
“Ya, boleh,”


Yanti berlari kecil memasuki minimarket sambil menyandang tas kecil di pundak. Setelah agak lama, Yanti keluar sambil menenteng sekaleng Cocacola dan sesekaleng Pepsi lengkap dengan sedotan.


“Oke, ini buat kamu. Aku lebih suka Pepsi,” ujar Yanti sambil menyodorkan kaleng Cocacola itu pada Hendra ambil memasuki mobil. Yanti tidak seperti sebelumnya. Ia lebih santai melarikan mobilnya, tak lebih dari 50 km/jam. Hendra tetap diam menatap keluar sambil menghabiskan Cocacola. Semakin dekat Ciawi, Yanti semakin memperlambat laju kendaraannya.

Tiba-tiba rasa pening menyerang kepala Hendra
“Aduh…, Yanti, kepalaku! Aduh…Kenapa nih?” tiba-tiba ia meringis, matanya mulai berkunang-kunang. Kepalanya mulai berat untuk ditegakkan. Rasa kantuk yang hebat menyerang tiba-tiba. Sensasi-sensasi alam maya mulai merasukinya dirinya, seakan melayang ke khayalan tanpa batas. “Yyyaan… Yyyaan…tiii…, ttoo..long aku Yan…” ucap Hendra lirih. Tangannya berusaha menggapai Yanti. Tetapi Yanti seakan tidak peduli. Ia malah tersenyum lebar, senyum kebahagiaan, senyum kemenangan.
“Sabar ya, sayang…! Sebentar lagi kita sampai…”
“Yyyan…tiii…, uuhh…agh… ” dan akhirnya Hendra terkulai lemas tak sadarkan diri akibat dua pil ‘penenang’ yang telah ditelannya bersama Cocacola yang sudah ia habiskan beberapa menit yang lalu.
Di sebuah jalan tak jauh dari perempatan Ciawi, mobil berbelok dan menuju sebuah vila mungil milik ayah Yanti. Vila itu jauh dari keramaian. Hanya dijaga oleh pak Ujang, seorang lelaki tua penduduk sekitar yang merangkap sebagai tukang kebun.

Tin…!Tin…! Tak lama kemudian, agak tergopoh-gopoh Pak Ujang berlari kecil keluar membukakan pintu gerbang. Lalu perlahan sedan mungil itu memasuki pelataran parkir yang tak terlalu besar. Setelah mobil terparkir, dengan cekatan Yanti keluar mobil, lalu berusaha memapah Hendra.

“Pak Ujang! Tolongin saya. Berat, nih!”

“Aduh, neng! Kenapa dia, neng?! Bawa aja ke dokter biar diobatin,”


“Nggak, enggak apa-apa kok! Dia cuma mabuk, habis minum tadi,”

“Tapi, neng?” agak ragu Pak Ujang menatap Hendra yang tak sadarkan diri.

“Aduh…! Pak Ujang ini, jangan ngomong aja. Bantuin dong!”
Sambil terseok-seok, mereka berdua memapah Hendra ke dalam lalu membaringkannya di kamar depan. Kamar yang biasa digunakan Yanti bila menginap.


“Neng, ngomong-ngomong dia ini siapa?” tanya Pak Ujang menyelidik.


“Dia itu keponakan ayah yang di Bandung. Udah, deh! Pak Ujang jangan banyak tanya. Malam ini Pak Ujang pulang saja. Besok, Pak Ujang kesininya siangan saja, setelah saya berangkat. Nih, buat beli rokok sama jajan!” Yanti lalu merogoh sakunya lalu menyodorkan selembar uang pecahan lima-puluh-ribu-an pada lelaki tua itu. Tanpa banyak tanya walau bimbang, akhirnya Pak Ujang pergi meninggalkan Yanti yang terus mengawasinya hingga bayangan lelaki itu lenyap di balik gerbang vila bersama tenggelamnya senja. Kini rencana selanjutnya! Desis Yanti.
Malam itu, Bulan berpaling di balik awan. Tak ada suara jangkrik berbunyi. Tak ada suara angin menyapu dedaunan. Tak ada suara katak sahut-menyahut. Dinding-dinding vila seakan diam membisu menatap geram nafsu anak manusia yang membabi-buta. Mereka meratap tapi tak mampu berkata atau mengisak. Kebisuan dalam pekatnya malam.



***

Pagi hari, di sebuah rumah, saat penghuninya tengah menyaksikan berita pagi di TV.


“...Pagi ini, di ruas tol Jagorawi telah terjadi tabrakan beruntun yang mengakibatkan dua tewas dan puluhan lainnya luka-luka. Kecelakaan diduga berasal dari sebuah Starlet biru metalik yang melaju dengan kecepatan tinggi dari arah Bogor yang tiba-tiba oleng lalu menabrak mobil di sampingnya setelah sebelumnya menabrak pagar pembatas jalan. Menurut saksi mata, sempat terjadi perkelahian kecil antara penumpang dengan pengemudi di mobil tersebut sebelum akhirnya pengemudi kehilangan kendali. Sejauh ini belum di ketahui penyebab kecelakaan yang pasti. Dari keterangan sementara petugas di lapangan, diketahui bahwa kedua mayat yang sudah tak dapat dikenali dari Starlet yang hancur itu adalah mahasiswa Universitas Indonesia…”.

Jumat, 21 Oktober 2011

KAMAR KOS





Kamar kos
adalah istilah yang biasa digunakan dalam menyatakan sebuah tempat hunian berbentuk kamar yang disewa untuk dijadikan tempat tinggal selama diperlukan ataupun memungkinkan untuk tinggal disana. Dalam menyewakan kamar kos, pemilik biasanya melengkapinya dengan fasilitas pelengkap kamar, seperti dipan, kasur, bantal, lemari, dapur, listrik, air dan sarana penghibur semisalnya tv.









Kata kos sendiri berasal dari bahasa inggris yaitu "cost" yang berarti beban biaya. entah sejak kapan istilah ini dipakai namun pada kenyataannya para penghuni kos itu dibebankan biaya "all in" tiap bulan sejumlah tertentu sesuai dengan fasilitas dan kualitas yg diberikan.


Namun ada kalanya sang penyewa merasa fasilitas yang ada dirasa masih kurang ataupun tidak cocok dengan keinginannya. maka sang penyewa tersebut mengadakan fasilitas tambahan ataupun fasilitas pengganti dengan biaya dan beban ditanggung sendiri. Apabila penambahan fasilitas-fasilitas tersebut menambah beban pengeluaran rutin mereka dalam mengelola kos tersebut, maka pemilik kos akan membebankan biaya lebih tersebut kepada penyewa. untuk itu biasanya negosiasi secara kekeluargaan pun dilakukan.

Seseorang memilih kos sebagai tempat tinggalnya perlu mempertimbangkan beberapa hal, antara lain:

1. Posisi dan lokasi.
pertimbangkanlah apakah posisi dan lokasinya strategis untuk aktifitas keseharian dan kegiatan perekonomian yang kita jalani. perhitungkan akses jalan serta komponen penunjang, seperti warung dan tempat ibadah.

2. Situasi dan kondisi.
Amatilah situasi dan kondisi lingkungan disekitar kos yang kita tuju. Perhatikanlah apakah mendukung kenyamanan dan suasana kesehatian kita. Terutama saat kita sedang ditempat. Perhatikan pula kaitannya antara kondisi cuaca mempengaruhi situasi kos, banjir atau tidak.

3. Keamanan dan ketentraman.
Keamanan dan ketentraman menjadi hal yang patut untuk dipertimbangkan secara cermat. Peristiwa kriminal seringkali terjadi di lingkungan kos. mulai dari pencurian, pembobolan hingga pembunuhan. Untuk itu perlu sekali calon penyewa kos mencari informasi terkait historikal tempat kos tersebut.

4. Fasilitas dan kelengkapan.
Fasilitas dan kelengkapan menjadi hal yang tidak terpisahkan untuk kamar kos yang umumnya terdiri dari: dipan, kasur, bantal, lemari, lampu, dapur, dan kamar mandi. Fasilitas tambahannya biasanya berupa: Telpon, Sprei, TV, ruang tamu, kursi tamu, kompor, kulkas dan dapur.

5. Biaya sewa yang ditetapkan
Biaya sewa kos sangat variatif. mulai dari harga Rp 150rb sampai harga 3 jt per bulan. Harga itu sesuai dengan nilai ekonomis dan ketersediaan kos tersebut disuatu lokasi. Semua itu kembali tergantung pada kebijakan pemilik kos.

Beruntunglah saya, sebagai penghuni sesa'at, mendapatkan sebuah kamar kos di sebuah kos-kosan yang berbentuk rumah tinggal dengan harga miring, yaitu Rp 200 rb sebulan, untuk semua fasilitas yang dimilikinya.

Untuk kamar memang tidak terlalu besar, ukuran 1,5m x 2,5m yang dilengkapi dipan standar, kasur dan bantal. ada dapur dan kompor lengkap dengan tempat cuci piring, ruang tamu dan sofa dan TVnya. ada kolam kecil didalam yang berisi ikan untuk tempat bersantai.








Ada halaman yang cukup luar dan ditumbuhi 6 pohon mangga yang rajin berbuah dan beberapa pohon kelapa yang bisa dipetik buahnya. Ada pula kolam ikan dibagian pojok belakangnya yang bisa dipancing dan disantap ikannya. Selain itu letaknya dekat dengan jalan dan akses transportasi yang mudah dan posisinya dekat dengan tempat kerja saya. Pusat keramaian dan perbelanjaan pun dapat saya tempuh dalam waktu 5 menit naik motor.

Untuk kepuasan, saya lalu mengganti dipan dikamar tersebut dengan sofa bed. Lalu dengan harga tersebut saya pun bisa menambahkan kulkas, dispenser, kipas angin dan "magic cooker" didalamnya. Sehingga kenyamanan bisa saya nikmati saat istirahat di kamar kos yang mungil itu.